DATA COVID-19 INDONESIA

😷 Positif:

😊 Sembuh:

😭 Meninggal:

(Data: kawalcorona.com)

KRITIK DAN ESAI


KRITIK DAN ESAI

Kritik dan Esai  merupakan  materi pembelajaran Bahasa Indonesia tingkat  SMA/MA  kelas XII. Materi kritik dan Esai yang akan disajikan didalamnya memuat pengertian kritik dan Esai , struktur kritik dan Esai, dan contoh kritik dan Esai . Semoga pembahasan ini dapat membantu dan dapat  dijadikan referensi dalam mengerjakan tugas bahasa indonesia.

Pengertian Kritik Sastra dan Esai

Kritik dan esai adalah dua jenis tulisan yang hampir sama. Keduanya sama-sama mengungkapkan pendapat atau argumen. Namun, penulis kritik dan esai haruslah melakukan analisis dan penilaian secara objektif terlebih dahulu agar dapat dipercaya.

Kritik sastra adalah bidang studi sastra untuk menghakimi karya sastra, untuk memberi penilaian dan keputusan mengenai bermutu atau tidaknya suatu karya sastra yang sedang dihadapi kritikus. Sedangkan esai adalah karangan yang berisi kupasan atau tinjauan tentang suatu poko masalah yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, pendapat, atau ideologi yang disusun secara populer berdasarkan sudut pandang pribadi penulisnya (bersifat subjektif).

Cara penulisan esai lebih bebas. Sementara kritik sastra, objek penilaiannya hanya dunia sastra. Dalam penilaiannya, karya sastra bersifat objektif dan harus menyertakan alasan dan bukti baik secara langsung maupun tidak langsung. Berbeda dengan kritik sastra, objek pembahasan esai adalah permasalahan umum yang bersifat subjektif.

Sebuah kritik sastra mempunyai beberapa ciri, antara lain:
o   Memberikan tanggapan terhadap objek kajian (hasil karya sastra)
o   Memberikan pertimbangan baik dan buruk sebuah karya sastra
o   Bersifat objektif
o   Memberikan solusi atau kritik-konstruktif
o   Tidak menduga-duga
o   Memaparkan penilaian pribadi tanpa memuat ide-ide.

Sedangkan secara umum, esai memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
o   Merupakan prosa. Artinya dalam bentuk komunikasi tertulis berisi gagasan.
o   Singkat. Maksudnya dapat dibaca dengan santai dalam waktu yang relatif singkat
o   Memiliki ciri khas. Seorang penulis esai yang baik memiliki karakter tulisan yangkhas yang membedakannya dengan tulisan orang lain.
o    Selalu tidak utuh. Artinya penulis memilih segi-segi yang penting dan menarik dari objek dan subjek yang hendak ditulis.
o   Bersifat subjektif.

Struktur Kritik Sastra dan Esai

Kritik sastra dan esai secara umum memiliki struktur yang sama, yaitu pendahuluan/orientasi, isi, dan penutup/reorientasi.

Bagian pendahuluan merupakan bagian yang penting dalam kritik sastra atau esai. Bagian ini menentukan apakah pembaca akan tertarik untuk meneruskan bacaan tersebut hingga selesai. Pendahuluan yang menarik tentu akan meningkatkan minat pembaca untuk menyelesaikan bacaannya. Sebaliknya, pendahuluan yang membosankan akan membuat pembaca enggan untuk melanjutkan bacaannya. Pada dasarnya, bagian pendahuluan berisi tentang pengantar yang memadai tentang topik bahasan yang hendak ditulis. Gagasan yang ditulis dalam paragraf pendahuluan memberikan gambaran tentang gagasan atau pembahasan yang akan ditulis pada bagian isi. Unsur yang paling penting dalam paragraf pendahuluan adalah kalimat tesis. Kalimat tesis merupakan gagasan utama kritik maupun esai yang dinyatakan secara jelas dan eksplisit. Kalimat tesisi ini berfungsi sebagai pengontrol gagasan yang hendak disampaikan dalam bagian isi.

Bagian isi merupakan penjabaran dari gagasan utama yang dinyatakan dalam kalimat tesis. Penjabaran gagasan utama ini diwujudkan dalam beberapa paragraf. Umumnya terdiri dari beberapa gagasan utama (minimal dua). Setiap gagasan utama ditulis dan dijabarkan dalam satu paragraf. Setiap paragraf isi mendiskusikan gagasan-gagasan yang lebih spesifik dan lebih detail agar argumen lebih meyakinkan. Gagasan spesifik ini merupakan kalimat pendukung yang berfungsi sebagai penjelasan yang logis atas argumen yang disampaikan penulis.

Bagian penutup merupakan satu paragraf simpulan yang dimaksudkan untuk mengakhiri pembahasan topik. Paragraf ini biasanya berisi rangkuman dari pokok pikiran yang telah disampaikan penulis. Paragraf penutup juga bisa berupa penegasan atas pendapat yang telah dijabarkan di bagian isi dengan maksud agar pembaca mengetahui secara persis posisi penulis atas masalah yang ditulis. Menutup esai dengan paragraf efektif akan memberikan kesan ketuntasan bagi pembaca sehingga apa yang disampaikan penulis dapat diterima oleh pembaca.

Dalam kritik sastra mengandung kritik yang meliputi empat hal, yaitu mendeskripsikan, menganalisis, menafsirkan, dan menilai.

Deskripsi merupakan tahap kegiatan memaparkan data apa adanya, misalnya mengklasifikasikan data sebuah cerpen atau novel berdasarkan urutan cerita, mendeskripsikan nama-nama tokoh, mendata latar tempat dan waktu, dan mendeskripsikan alur setiap bab atau episode.

Analisis adalah menguraikan unsur-unsur yang membangun karya sastra dan menarik hubungan antar unsur-unsur tersebut.

Menafsirkan dapat diartikan memperjelas maksud karya sastra dengan cara:
o   memusatkan interpretasi kepada ambiguitas, kias, atau kegelapan dalam karya sastra,
o   memperjelas makna karya sastra dengan jalan menjelaskan unsur-unsur dan jenis karya sastra. Seorang kritikus yang baik tidak lantas terpukau terhadap apa yang sedang dinikmati atau dihayatinya, tetapi dengan kemampuan rasionalnya seorang kritikus harus mampu membuat penafsiran-penafsiran sehingga karya sastra itu datang secara utuh.

Menilai dapat diartikan menunjukkan nilai karya sastra dengan bertitik tolak dari analisis dan penafsiran yang telah dilakukan. Dalam hal ini, penilaian seorang kritikus sangat bergantung pada aliran-aliran, jenis-jenis, dan dasar-dasar kritik sastra yang dianut.

Sedangkan dalam esai terkandung opini yang ingin disampaikan yang memenuhi batasan sebagai berikut:

1.    Opini. Sebuah kepercayaan yang bukan berdasarkan pada keyakinan mutlak atau pengetahuan sahih, namun pada sesuatu yang tampaknya benar, valid, atau mungkin yang ada dalam pikiran seseorang dan apa yang dipikirkan seseorang.
2.      Ujilah opini Anda dengan definisi di atas untuk menilai apakah Anda telah memiliki topik esai yang baik. Apakah opini tersebut didasari atas keyakinan mutlak? Atau pengetahuan yang shahih?

Apakah Anda dapat membuktikan kebenarannya di atas semua keraguan yang beralasan? Jika ya, berarti itu bukan opini, tetapi fakta atau sebuah hasil observasi yang telah diterima secara luas sehingga menjadi sebuah fakta. Fakta harus terlebih dahulu diubah menjadi sebuah opini sebelum dimunculkan dalam esai. Misalnya, fakta menunjukkan bahwa jumlah penduduk negara kita sekian ratus juta. Untuk mengubah fakta tersebut menjadi sebuah opini, tugas Anda adalah menilainya.

 Anda bisa menilai bahwa budaya negara kita berubah karena pertambahan penduduk yang demikian cepat. Dengan membuat sebuah penilaian, maka Anda telah mengubah fakta menjadi opini. Dengan demikian, Anda telah memiliki topik esai yang baik.


Contoh Kritik dan Esai

Ideologi Patriarki dalam Cerpen Asma Nadia

Ateng Hidayat Mahasiswa Sastra UPI Bandung

Diterbitkannya kumpulan cerpen Ketika Mas Gagah Pergi karya Helvy Tiana Rosa (1997) menandai kebangkitan kembali fiksi Islam Indonesia, setelah beberapa dekade terakhir meredup. Sejarah mencatat fiksi Islam Indonesia telah berkembang sejak abad ke-18, antara lain, dengan munculnya Tajussalatin karya Hamzah Fansuri dan Bustanussalatin karya Nuruddin ar-Raniri.

Sejak tahun 1997 karya fiksi Islam kembali membumi. Sederetan penulis dan karyanya berhasil mendulang prestasi besar. Di antara penulis tersebut adalah Fahri Asiza, Gola Gong, Jazimah al Muhyi, dan Asma Nadia. Salah satu karya Asma Nadia, penulis fiksi Islam yang pernah meraih penghargaan Adikarya IKAPI 2001, adalah cerpen Cerita Tiga Hari, yang termuat dalam antologi cerpen Meminang Bidadari (FBA Press, Maret 2005).

Banyak pesan moral dan nilai religius yang diangkat dalam kumpulan cerpen ini. Termasuk dalam Cerita Tiga Hari yang mengisahkan kebahagiaan satu keluarga. Cerita yang dikisahkan hanya tiga hari. Hari pertama, menceritakan saat suami berangkat kerja.

Kepergiannya diiringi tatap istri dan kedua anaknya penuh bahagia. Hari kedua, menceritakan saat suami pulang kerja sampai makan malam. Hal ketiga, menceritakan saat suami bekerja.

Ia digoda seorang wanita cantik yang menumpang di kendaraannya. Adapun pesan moral yang terdapat dalam cerpen ini adalah peran cinta dan rumah tangga penuh kasih, yang dapat menyingkirkan besarnya godaan terhadap para suami di luar rumah, saat mereka bekerja.

Terlepas dari misi agung yang diemban pengarang, apabila kita membaca dengan memposisikan diri sebagai pembaca perempuan (reading as a women), sebagaimana yang dinyatakan Jonathan Culler, yaitu adanya kesadaran bahwa ada perbedaan jenis kelamin yang banyak berpengaruh terhadap kehidupan, budaya, termasuk sastra, kita akan menemukan adanya gender inekualities atau ketidakadilan gender dalam cerpen ini.

Djajanegara mengemukakan, ketidakadilan gender tersebut di antaranya dapat dilihat dari peran dan karakter tokoh. Cerita Tiga Hari mungkin merupakan potret realitas perempuan Indonesia, yang masih tertindas oleh dominasi laki-laki dengan ideologi patriarkinya.

Dalam cerpen tersebut masih terdapat pembagian peran, antara peran domestik/tradisional yang dilakukan oleh perempuan dengan peran publik yang dilakukan oleh laki-laki.

Istri dan dua anaknya mengantar sampai ke pintu. Wajah-wajah cerah itu yang setiap hari melepasnya pergi.... Istrinya menyuguhkan segelas teh manis hangat. Itulah petikan yang menunjukkan adanya peran domestik tokoh istri. Ia beraktivitas hanya dalam lingkungan rumah tangga, menangani masalah dapur, merawat dan membesarkan anak, dan mengurus rumah. Berbeda dengan tokoh suami, ia beraktivitas di wilayah publik, bekerja mencari nafkah untuk menghidupi keluarga. Perhatikan kutipan berikut.

Udara Jakarta yang panas, seharian bekerja mengitari ibu kota berhadapan dengan rupa-rupa manusia. Kehadiran tokoh istri tidak lebih hanya menjadi pelayan dan pelengkap kehidupan tokoh suami.

Pembedaan peran domestik dan peran tradisional tersebut jelas merugikan kaum perempuan, karena hal tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dengan seks atau jenis kelamin. Bukan merupakan kodrat seorang perempuan untuk mengurusi hal-hal domestik, laki-laki pun bisa melakukannya.

Perbedaan peran tersebut hanya merupakan masalah gender, yang dikonstruksi secara sosial dan kultural oleh masyarakat yang didominasi ideologi patriarki, demikian kata Mansour Fakih.

Selain peran domestik tersebut, perempuan dalam cerpen ini hanya dijadikan sebagai objek dalam percintaan. Lelaki yang dipanggil sayang itu tersenyum. Mengecup kening, dan dua pipi istrinya .... Lalu sun sayang di kening, dan pelukan istri yang menyambutnya.

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa kehadiran tokoh istri hanya menjadi pemuas kebutuhan laki-laki, baik secara biologis maupun psikologis. Selain dalam peran tokoh, bias gender dalam cerpen ini dapat dikaji dalam penokohan. Sambutan hangat yang anehnya justru selalu mengalirkan hawa dingin di penat tubuhnya....

Jakarta panas, tapi pikiran tentang istri dan kedua anaknya yang menanti penuh cinta, menyejukkan perasaan. Kutipan tersebut menunjukkan adanya pencitraan tokoh perempuan dengan stereotipe lembut, sopan, menyenangkan, penuh kasih sayang, dan taat pada suami.

Tokoh perempuan juga dicitrakan sebagai makhluk yang lemah, perasa, dan patut untuk dikasihi. Citra tersebut melekat pada tokoh perempuan cantik yang menumpang mobil tokoh suami: Wajahnya yang basah dengan air mata, suara isak tertahan di balik sapu tangan yang menutupi sebagian rupanya. Betul-betul pemandangan yang mengibakan.

Selain lemah dan patut dikasihani, ia pun dicitrakan dengan karakter jalang, penggoda, dan amoral. Terlihat jelas ketika ia merayu tokoh suami: Tunggu dulu. Kenapa buru-buru. Mas gak suka dengan saya? Adanya bias gender dalam penokohan dapat dilihat dengan terang.

Karakter tokoh perempuan sangat berbeda dengan karakter tokoh laki-laki. Tokoh suami dicitrakan sebagai sosok yang jujur, soleh, bermoral tinggi, dan menjunjung tinggi nilai-nilai religius: Perasaannya sendiri tidak enak berduaan di pinggir jalan yang sepi dengan wanita berpakaian minim ini.

Terdapatnya bias gender dalam cerpen ini menimbulkan pertanyaan besar di benak pembaca. Kenapa hal tersebut terjadi? Bukankah Nadia seorang perempuan? Yang seharusnya menjunjung nilai-nilai feminisme yang memperjuangkan kesetaraan perempuan dan laki-laki. Seperti yang dilakukan oleh para penulis perempuan lainnya, seperti Fatima Mernissi, Nawalel Saadawi, Wardah Hafidz, dan Lies Marcoes Natsir.

Ataukah karena pengaruh ideologi Islam yang ia anut? Benarkah Islam menolak equal right’s movement? Adalah Mahmud Abu Syukkah, seorang penulis Kuwait yang mencoba menjelaskan hal ini. Menurutnya, dalam Islam semua manusia kedudukannya sama di sisi Tuhan, baik ia seorang laki-laki maupun perempuan.

Manusia yang paling baik adalah yang paling besar ketaatannya kepada-Nya. Bahkan, kalau kita memutar jarum sejarah sampai kehidupan abad ke-7, justru emansipasi perempuan dalam Islam sudah terjadi pada masa itu. Ideologi Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad telah mampu membebaskan kaum perempuan dari penindasan kultur Arab yang mendewakan laki-laki.

Menurut saya, paling tidak ada dua hal yang menyebabkan terjadinya gender bias dalam cerpen Cerita Tiga Hari itu. Pertama, karena Nadia terlalu terpaku pada pesan moral dan nilai-nilai religius yang akan disampaikan, sehingga karyanya terkesan kaku. Hal senada diungkapkan Rahmadianti (Majalah Annida).

Menurutnya, karya fiksi Islam yang sekarang sedang membumi terlalu mengedepankan misi dakwah, sehingga aspek estetikanya kurang tergarap dengan maksimal. Kedua, adanya miss-interpretasi terhadap sumber-sumber ajaran Islam, yaitu Alquran dan Hadis, yang dijadikan sebagai landasan moral dan etis dalam menulis sebuah karya.

Dalam Alquran ada ayat yang menyebutkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Dalam Hadis ada yang menyatakan bahwa istri yang baik adalah yang taat kepada Tuhan dan taat kepada suami.

Kalau kita tidak memahami konteks sosial politik ketika kedua sumber hukum tersebut diturunkan, maka kita tidak akan mampu menemukan interpretasi yang tepat terhadap ayat dan hadis tersebut. Ketika penafsiran kurang tepat, maka dalam realisasinya pun akan terjadi penyimpangan.

Akhirnya, terlepas dari kelebihan dan kekurangan yang terdapat dalam cerpen Cerita Tiga Hari, sebuah karya fiksi Islam tidak cukup hanya memuat pesan moral yang baik dan nilai-nilai religius yang agung saja. Karena, ternyata kehadirannya kian mengukuhkan bangunan ideologi patriarki yang selama ini menindas kaum perempuan.


Sumber contoh kritik dan esai:


Posting Komentar

0 Komentar